Perjalanan Tanpa Tanda Petik
Perjalanan Tanpa Tanda Petik
--untuk
semua yang terlewat dan tak terbaca
Pagi ini aku bertemu dengan Perjalanan.
Perjalanan mampir dengan sol sepatu setengah mangap, jaket kulit lusuh, dan
celana penuh dengan luka robek. “Ada apa denganmu?” tanyaku setengah bodoh.
Perjalanan hanya memandang jenaka wajahku yang penuh penantian nyata yang
terbilang retoris. “Aku mengarungi waktu.” Begitu Perjalanan singkat menjawab
penuh senyum.
Aku hanya mengangguk setuju dan begitu
tahu. Terduduk, Perjalanan bercerita padaku tanpa sebuah tanda petik lagi:
Padaku,
aku melihat bagaimana kain fajar membalut tubuh malam yang begitu legam dengan
warna serupa es krim leleh di tangan anak-anak. Aku juga melihat dia mengenakan
warna jingga di saat senja. Pernah kaulihat bagaimana malam mendatangi pesta?
Di kainnya banyak manik gemintang dan topengnya terdapat satu rembulan.
Padaku,
aku melihat bagaimana pepohonan mahoni tak lagi sabar menunggu kemarau. Kemarau
begitu ditunggunya agar tak ada yang sadar betapa dia sedih melihat manusia
bertelanjang dada. Seharusnya kaulihat air matanya yang gugur satu per satu
dihempas musim. Dan sejuta manusia mengumpat kedatangan kemarau yang begitu
panas. Seperti pula mereka mengumpat musim hujan yang begitu dingin.
Padaku,
aku melihat bayi-bayi lahir dari rahim ibu. Belajar berjalan, bersekolah, dan
lupa mengecup kening ibu saat dewasa. Tak jarang mereka menjadi ukiran cela
dalam barisan doa yang didendangkan ibu semenyayat dinginnya angin malam
membeku.
Padaku,
apa yang sebaiknya kaulihat dariku. Kaulihat jalinan-jalinan jalan menjadi
satu. Di perhiasan waktumu, aku menunggu hingga terbit senja di kedua sayu
matamu. Agar kamu kembali menemuiku yang selalu menjadi alfa terbesar di
hidupmu.
Padaku,
aku padamu.
Bandar Lampung, 1 Oktober 2013
Prima Helaubudi
Apa yang terlewat, tak terbaca.
Hikmah yang hilang, tiba diingat.
Komentar
Posting Komentar