Perempuan dan Kekasihnya #1 : Kehidupan Ketiga

Sayangku, bagaimana semua akan berakhir? Apakah kita akan berjumpa lagi, nanti? (terdiam ia menatap hari yang mulai tersingkap dari kabut-kabut, menetra)
Apakah kamu membicarakan tentang nanti? (lelaki itu memandang perempuannya)
Ya, tentu saja.
Semoga.
Hanya itu?
Ya. Aku tak dapat menjanjikanmu apapun. Aku hanya berharap semua bisa pasti layaknya kau dan aku, sekarang.
Sekarang? (perempuan tersenyum)
Ya. Sekarang. (lelaki turut tersenyum menyaksikan perempuannya tersenyum. tapi matanya amat mawas, serius)
Kita mungkin dapat berpisah. (perempuan menggigit separuh bibir bawahnya, lembut)
Bukan mungkin. Tapi pasti. (lelaki mengujar mantap)
Rupanya kautahu objek apa yang kumaksud. (perempuan memincingkan matanya, licik, kalah, dan bahagia)
Berhentilah mengujiku, perempuanku. Aku sangat mengerti kau.
Sebab kita berjodoh.
Ya, karena kita ditakdirkan berjodoh.
Dalam...
(tertawa) Dalam ikatan iman kepada-Nya. Ayolah. Berhenti mengujiku.
(serius) Kautahu, tentu tahu betapa penting iman pada-Nya bagiku. Lebih dari aku, dikau, dan semua tentang kita.
Dan aku tahu. Sejak tadi kaubicara tentang kehidupan ketiga, bukan?
(mendesah berat) Ya. Setelah alam roh, setelah kefanaan ini.
Ya. Sama denganmu. Aku mengharapkan kita bersama.
Bagaimana jika tidak? Bagaimana jika... (perempuan panik. lelaki melebarkan telunjuknya di bibir perempuan)
Tenanglah. Jangan kauterbiasa dengan kepanikanmu. Dengar aku selesai bicara. (diam sejenak. perempuan tenang) Berprasangka baiklah.
Hanya itu? (tatapan matanya tidak percaya)
Ya.
Menyebalkan. (diam) Bagaimana jika usaha kita kurang. Bagaimana kalau kau dan aku tidak bersama nanti. Bagaimana kalau kehidupan ketiga kita durjana?
(lelaki diam, serius) Sudah kubilang tadi. Tenanglah. Semua tidak akan menjadi jauh lebih mudah dengan kepanikanmu.
Apa kautidak takut?
Pada apa? Kehidupan ketiga? Tentu, Sayang. Sama sepertimu, bukan hanya kauyang ingin bertemu dengan-Nya. (diam) Bahkan sesungguhnya mungkin aku lebih takut karena aku membawa kau.
Sungguh?
Ya.
Jadi?
(menatap) Kita hanya bisa melakukan yang terbaik. Dan adakalanya (menarik nafas panjang dan dalam) ini jangan dipikirkan. Nanti kita tenggelam dalam angan-angan. Nanti kita tertipu rasa risau.
Hem.
Kamu masih belum terima?
(menggeleng)
Dasar keras kepala.
Mungkin tidak ada yang lebih keras kepala dariku.
(senyum) Mungkin dengan satu pengecualian.
(tersenyum juga) Oh, kau. (diam) Betapa menyebalkannya kaumasih begitu tenang.
Karena aku lelaki.
Dan aku perempuan.
Kaupaham.
Tentu.
Lalu?
(menggerakan kepala, membuang muka) Iya, iya. Kendalikan. (diam) Tapi susah. (menunduk)
Makanya ada aku.
Biar apa?
Biar ada yang mengingatkan. Setidaknya (mengerling menang) aku tahu kautidak akan pernah lurus. Jadi aku harus memanjangkan cerita.
(mengangguk) Ya. Seperti memanjangkan cerita agar aku tak perlu cemas dan lupa tentang pertanyaanku, 'kan? (curiga)
(memincingkan mata) Kautahu. (serius) Jangan kaupikirkan apa yang belum ada jawabannya.
Belum? (bingung)
(mendesah) Bukankah Dia akan menjelaskannya nanti kalau kita bertemu?
Nanti. Kalau. Tapi bagaimana? (panik)
Shht. (mengatupkan bibir perempuan dengan telunjuk, lagi) Bersabarlah. Minta pada-Nya. Sayang, aku tak bisa memberi kau semua jawaban. Begitu pula sebaliknya. Bertanyalah kepada-Nya. Tunggu jawabannya. Tak baik kauterus membuatku gusar.
(berusaha menerima) Baiklah. Akan kucoba. Dan, maaf.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA