Jalur yang Bercabang (Lima Cabang)

*NB : Ini Coretan yang Panjang

Jalur yang Bercabang
(Lima Cabang)

Terkadang tanpa sadar segala sesuatu bermuara pada hulu yang sama.

Satu : Pengalaman Tentang Ilmu

“Muhrim sama mahram emang beda, ya?”

Itulah salah satu pertanyaan besar saya yang dulu saya tanyakan dan pendam dengan bodohnya. Padahal ilmu ‘kan, ya? Lalu, kenapa saya pendam?

Sederhana. Saya pernah berada di suatu masa yang ketika ada seseorang menjelaskan suatu hal, ternyata hanya saya di ruangan tersebut yang tidak mengerti perihal ilmu akhirat tersebut. Dan saya menanyakannya. Alhasil, saya ditertawakan seantaro ruangan.

Tadinya, saya ingin menyatakan bahwa shahabiyah saja menyoal urusan ilmu tidak malu bertanya. Seorang shahabiyah pernah menanyakan pada Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam yang kurang lebih isi dalam hadits—yang saya belum hafal itu—, “Ya Rasulullaah, sesungguhnya saya perwakilan para perempuan ingin menanyakan suatu hal kepadamu. Dan malu itu tidak menghalangi kami untuk menimba ilmu. Kami ingin tahu apakah seorang perempuan jika… (dan seterusnya).”

Tapi saya urungkan. Saya teringat para tabi’in yang ketika bermajelis, ada yang hendak bertanya dan dia bertanya. Lalu, dia menyesal. Mengapa? Karena dia merasa keikhlasannya terganggu. Ini ada di buku Tarbiyah Ruhiah Ala  Tabi’in. Awalnya, saya tidak mengerti hingga harus membaca halaman yang menceritakan hal ini berulang-ulang kali. Tapi saya tetap tidak mengerti sampai akhirnya, saya ada di suatu situasi dan kondisi yang saya dapat mengetahuinya. Saya berbicara di suatu kelas dan menunggu reaksi hati saya. Dan alhamdulillaah saya paham. Ternyata, itu memang tingkat wara’ (kehati-hatian) yang sangat tinggi.

Saya khawatir jadi berdebat. Dan saya tidak mau menghilangkan kesempatan mendapatkan janji surga di bagian pinggir untuk mereka yang menghindari perdebatan walaupun dia benar.

Kembali ke topik. Saya akhirnya bertanya ketika sudah berdua dengan si pemberi ilmu, mencari di internet, buku, dan pembahasan dari orang lain mengenai hal ini. Dan akhirnya, saya tahu walaupun saya memang kesulitan jika harus dibahasakan secara tepat berupa definisi.

Dua : Al-Wala’ Wal-Bara’

Singkat cerita, lambat laun akhirnya saya dipahamkan Allaah konsep safar, konsep dan syarat berpergian ke luar negeri, dan negara kafir. Alhamdulillaah ketika kelas tiga SMA dalam suatu seminar suatu lembaga yang mengirimkan siswa ke luar negeri, saya tidak diperbolehkan orang tua. Allaah Maha Penyayang.

“Satu kesalahan yang sering dilakukan oleh orang yang berilmu atau tidak mengenai al-wala’ wal-bara’ ini adalah berkenaan dengan negara kafir. Banyak dari kita yang mengagung-agungkan dan ingin tinggal di negara kafir karena kebersihannya, keprofesionalannya, dan kemajuannya. Cukuplah suatu negara disebut negara kafir apabila negara tersebut menghalangi umat Islam di dalamnya untuk beribadah dan taat kepada Allah. Contohnya, tidak dibolehkannya adzan dengan pengeras suara, dilarang mengenakan jilbab, dipersulit akhwat berjilbab untuk kerja, dan sebagainya. Boleh kita ke sana pun jika ada udzur yang benar-benar syar’i. Sebagai bentuk wala’ kita terhadap Islam, maka meskipun negara itu sebersih apapun, seprofesional apapun masyarakatnya, semaju apapun negaranya, maka kita tidak boleh mengagungkannya. Karena saudara kita di sana ditindas. Memang kebersihan adalah sebagian dari iman. Profesional mungkin cabang dari iman juga. Tapi seperti yang kita ketahui dalam hadits, bahwa iman yang sesungguhnya adalah dua kalimat syahadat. Dengan dua kalimat syahadat sudah memenuhi apapun itu bentuknya. Dan kebersihan, keprofesionalan, kemajuan itu semua nihil, nol jika tanpa syahadat.”

Demikian ujar seseorang dalam majelis. Ada enlightment atau revelation di atas kepala saya tentang takdir yang tersembunyi hikmahnya.

Tiga : Itu Milik Islam!

Well, saya memang pernah mendapatkan ilmu tentang al-wala’ wal-bara’ tapi tetap saja ada yang baru. Dan saya hari ini teringat tentang sebuah pengetahuan dari salah satu stasiun televise luar negeri yang dahsyat. Saya sangat suka sedari SMP. Dan itu adalah National Geographic Adventure. Terlepas ada konspirasi masalah ilmunya, saya mengambil ilmu yang disampaikan. Toh, tidak semua dirahasiakan, bukan? Daripada menonton gosip.

Dalam sebuah acara, ada kisah mengenai komitmen dan pendapat para pakar bahwa sesungguhnya tataran masyarakat yang paling penting dari sebuah budaya adalah makanan. Makanan dapat mengubah konsep tataran masyarakat. Konsep ini berkembang pesat di pedalaman Meksiko. Dengan makanan, suatu desa dapat bertahan hanya ratusan tahun tetap sama hanya dengan acara makan bersama! Dan masyaa Allaah, mereka tetap memiliki kontak baik dengan dunia luar yang notabene sangat berbeda dengan daerahnya.

Lalu, demikian pula dengan di suatu desa terpencil di Amerika. Desa ini pada awal mulanya adalah desa yang tidak diperhitungkan dan nyaris bangkrut tanpa pendapatan. Lalu, terjadilah revolusi. Melalui makan bersama (lagi) para petani berkumpul dan membicarakan masalah kesepakatan harga. Dijamu dengan makanan berasal dari kebun mereka sendiri, makanan yang tidak habis dijadikan menjadi kompos yang benar-benar menyandarkan konsep Go Green.

Dan konsep itu diklaim milik Meksiko yang bertahan selama 2000 tahun.

Kenapa saya sangat menggebu di sini? Pernah membaca terjemah Al-Qur’an? Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam yang memulai hal ini sebenarnya. Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam dikisahkan dalam shirah sebelum makan selalu mencari orang untuk dijamu. Dan salah satu kisah terbesar adalah ketika Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam menjamu malaikat yang hendak menghancurkan kota Sodom, tempat berdiam Nabi Luth ‘alaihis sallam yang bercampur dengan kaumnya yang homoseksual. Diam-diam, Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam pergi, menyembelih gembala terbaiknya, dan menyajikannya dalam bentuk sudah terpanggang.

Ingat, Nabi Ibrahim ‘alaihis sallam hanif; muslim, ya? Dan pastinya beliau hidup di waktu yang sangat jauh dari kita sekarang. Melampaui diantaranyaNabi Isa ‘alaihis sallam, Nabi Musa ‘alaihis sallam, dan Nabi Syua’ib ‘alaihis sallam.

Ini juga telah dicontohkan oleh Rasulullaah shallallaahu ‘alaihi wasallam. Bagaimana Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam  dalam shirah dan hadits selalu menjamu para sahabat baik banyak maupun sedikit jumlahnya. Inipun diabadikan dalam Al-Qur’an dan hadits shahih Bukhari-Muslim tatkala Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam sebenarnya merasa malu melihat orang-orang menunggu makanan beliau masak dan juga berlama-lama dalam rumah beliau.

Ingat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam hidup 1400 tahun lalu, ya?

Menyoal Go Green yang kini dihembuskan kaum barat. Tahukah bahwa konsep Go Green telah ada dalam Islam? Ingat dalam Al-Qur’an bahwa ada ayat yang mengatakan, “Sesungguhnya pemboros itu adalah saudaranya setan.”? Tahukah ini sudah dicontohkan dalam konsep muslim yang harus menghabiskan makanan? Bahkan para penuntut ilmu saja sampai tidak berani membuang kertas yang hanya berisi sedikit tulisan. Saya membaca artikel bahwa Syaikh Abdulrazzaq yang merupakan murid dari Syaikh Muhammad Fauzan al-Fauzan ditegur karena menggunakan kertas mubazir; dengan sedikit tulisan tanpa dipenuhi? Itu dilandasi dari ayah Sayikh Muhammad Fauzan al-Fauzan sendiri yang susah payah membeli kertas guna menuliskan ilmu?

Tahukah bahwa murid Syaikh Al-Albani sampai menangis melihat revisi buku beliau dituliskan dari karung-karung penakar di pasar yang diberikan garis-garis layaknya kertas biasa?

Jadi, piil pesenggiri-ku muncul. Hei, itu milik Islam. Masyaa Allaah. Dan aku bertanya-tanya, kira-kira sebagai muslim bagaimana seharusnya setelah mendapatkan pengetahuan ini. Berat, sungguh berat.

Empat : Laksana Mendaki Gunung Tertinggi

Sewaktu dulu menjadi orang awam, saya melihat Islam bagaikan gunung yang sangat tinggi. Tidak terlihat puncaknya. Bagaikan di menara gading yang tidak dapat dan mustahil disentuh. Tidak membumi. Padahal, saya tinggal di bumi.

Syukurillaah, Allaah tidak membuat saya phobia dan acuh seperti kebanyakan. Pemikiran saya dibiarkan terbuka pada apapun. Termasuk Islam. Hingga akhirnya, saya memutuskan untuk memperlajari Islam lebih lanjut. Untuk mendaki gunung yang terlihat mustahil itu.

Akhirnya saya sadar. Mempelajari Islam laksana mendaki gunung tertinggi. Ketika kamu mendakinya, ada waktu jet lag yang besar. Jet lag ini diumpamakan seperti melihat daratan di bawahmu. Kamu tersadar, bahwa banyak hal yang mungkin.

Orang yang tahu dan tidak mengamalkan ilmunya, laksana pendaki yang terpukau dengan jet lag, daratan di bawahnya dan kembali atau terperosok.

Sementara orang yang mengamalkan ilmunya mengandalkan keyakinannya untuk mengamalkan ilmunya. Mendaki kembali dan menuju ilmu berikutnya. Menuju pengamalan berikutnya.

Ya, laksana mendaki gunung tertinggi. Semakin tinggi, semakin dingin. Semakin tinggi semakin sulit. Dan kemudian kamu sadar bahwa kamu ditakdirkan untuk menjadi penghuni langit yang bertengger di puncak yang belum kamu ketahui. Tapi kamu yakin, dia ada. Dan kamu melihat orang di daratan dengan kasihan karena tidak merasakan sensasi dan keyakinan yang kamu miliki. Dalam kehidupan nyata, kamu mengajak dengan berbagai upaya baik agar mereka ikut mendaki bersamamu.

Lima : Beginilah Islam Mengajarkanku

Ya, beginilah Islam mengajarkanku. Dan Islam akan mengajarkanmu dengan cara yang paling sesuai dengan dirimu. Karena Dia tahu apa yang terbaik bagi hamba-Nya.

Wallahu’alam. Wallahul musta’an

Bandar Lampung, 10-10-2013
:)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA