Seorang Hiyu

Aku sering tersenyum bahkan tertawa kalau mengingat kawan-kawanku banyak protes soal kurang terbuka, kurang berbaur, dan kurang-kurang lainnya dalam hal pertemanan.

Sedikit bercerita. Sewaktu kecil aku tukang ngambek di rumah (sampai sekarang sih), cerewet, dan lainnya. Sampai suatu ketika, karena peristiwa berulang, aku berubah 180 derajat. Jadi pendiam dan nyaris tidak punya ekspresi kecuali sedih.

Dari kecil, buku adalah suatu hal yang mahal buatku. Karena aku tinggal di dekat jalan ramai, ayah dan mama tidak memperbolehkanku sering bermain.

Aku punya dua orang kawan kecil terhitung sebelum kelas empat SD. Namanya Caca dan Selvi. Caca adalah saudara jauhku yang berbeda usia satu tahun di atasku. Sedangkan Selvi adalah tetanggaku. Sayang, Caca jarang sekali berkunjung. Dan Selvi? Mama melarangku mendekati anak tersebut. Awalnya, aku tidak mengerti. Tapi sebagai anak, aku cenderung patuh hingga dewasa ini aku paham alasannya.

Kesepian. Dilarang bermain. Terutama oleh ayah. Keseimbanganku buruk sekali. Setiap bermain, aku pasti berlari dan pasti jatuh. Ayahku marah sekali jika aku jatuh. Betadine dan obat merah diberikan dengan serapahan setiap aku jatuh. Jadilah. Aku nyaris tidak bermain lagi. Jika sangat ingin dan jatuh, aku sembunyi kesakitan sendiri. Makanya kata orang, badanku sangat kaku dan gerakanku kikuk.

Aku bingung dan butuh suatu aktualisasi diri. Ketika televisi masuk rumah, aku selalu menonton televisi. Aku bahkan hafal waktu-waktu seluruh salurannya.

Tapi kesepian? Tetap saja. Sampai akhirnya, aku sampai pada taraf tidak bisa bersosialisasi sebaik ketika TK dan awal SD.

Ada sebuah animasi Jepang berjudul Popolocrois. Tentang animasi ini aku cerita sedikit. Dia bercerita tentang cewek cowok dari kerajaan. Cowok tersebut adalah pangeran bernama Pietoro. Dia tidak tahu bahwa sebenarnya dia adalah darah campuran antara manusia dan kaum naga, kaum para dewa. Sementara cewek tersebut adalah cucu seorang penyihir bernama Narsiah. Ada seorang ilmuwan yang ingin merebut kerajaan. Percobaannya gagal dan justru membuka portal masa lalu. Dari portal itu terjebaklah seorang putri dari kerajaan kaum angin, kaum perantara antara naga dan manusia, Hiyu.

Hiyu pendiam, sulit ditebak, dan dilatih keras sebagai putri kaum angin.

Meskipun sulit, akhirnya Hiyu bisa membuka dirinya walaupun tidak mengubah sedikit pun dirinya. Diwarnai pengkhianatan dan putus-sambung, mereka bertiga bersahabat.

Hiyu kembali ke tempatnya di masa lalu di mana kaumnya mengalami kepunahan.

Sebuah kalimat terakhir sebelum kembali, "Aku mungkin akan punah. Tapi aku bersyukur bertemu kalian. Jika angin bertiup sepoi-sepoi, artinya aku sedang tertawa mengingat kalian. Selamat tinggal."

Sewaktu kecil, pikiranku sederhana. Hiyu yang tidak bisa berteman bisa memiliki sahabat-sahabat terbaik. Maka, aku pun bisa. Aku punya kesempatan juga walaupun tidak selancar yang lain.

Aku menemukan mereka. Belajar membuka diri (kembali). Dan yang kudapat bukan hanya teman, tapi sahabat yang begitu cukup buatku.

Memang, sebagai makhluk sosial sudah fitrahnya mencari orang lain menopang diri. Dan aku mengambil kesimpulan bahwa dunia ini terlalu luas untuk pesimis tidak memiliki teman.

Karenanya, setiap ada yang komentar masalah keterbukaan, senantiasa aku tertawa. Merasakan hembusan angin sepoi-sepoi.

Menjadi seorang "Hiyu" tidak mudah, kawan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA