Monolog - Rena Tidak Mau Mengerti



Rena Tidak Mau Mengerti
 

Hai, kenalkan. Namaku Rena. Tidak ada yang spesial dariku. Wajah pas-pasan. Uang tak ada. Pintar juga tidak. Sudah. Pergi saja sana jika merasa tidak menarik. Aku di sini Cuma akan bercerita kok tentang kehidupan saya yang sempurna. (tertawa) Ya. Kehidupan saya yang sempurna.

Kata kawan-kawan, wajah saya sangat kekanak-kanakkan. Iyalah. Ibu saya awet muda. (berbangga)Dan kata kawan-kawan juga, saya tidak punya masalah. Buktinya, saya selalu tersenyum dan bersikap manis. Kadang-kadang menyebalkan. (diam sejenak) Tapi ini rahasia lho. Serius. Saya akan menceritakan sesuatu kepada kalian seorang. Janji? Ini rahasia kita saja.

Aku tinggal di keluarga yang keras. Eh, tapi bukan manusia batu lho yang terbuat dari batu. (tertawa sendiri) Ehm, maaf, garing.

Suatu hari, aku masuk ke dapur dan membantu ibu. Aku saat itu masih anak kecil yang suka buang ingus sembarangan. Aku melihat ibuku memasak tumis kangkung lezat kesukaanku. Hem... dikasih terasi pula. Bagaimana aku tidak tergiur, coba?

Sebagai seorang perempuan, ciee (buang muka tersenyum, malu-malu) aku membantu ibu memasak.

Mama... Mama... Aku mau mengiris kangkungnya. Oh, begitu. Rena bisa kok. Aduh, aduh. Maafkan Rena, Mama. Potongan kangkungnya kurang kecil, ya?

(mendelik, mengangkat pisau dapur ukuran besar) Dasar anak setan! Bisanya menganggu saja. Pergi sana! Ganggu saja bisanya.

(tertawa) Aku melongo saat itu. Pasti tampangku bodoh. Tapi... ya sudahlah. Aku sudah meninggalkan si Rena bodoh ingusan itu.

Lanjut, ya. Aku berjalan dan memikirkan benda apa yang ibu arahkan kepadaku. Tapi aku terlalu takut untuk kembali lagi ke dapur. Dan ternyata (tertawa geli dan satire) aku tidak kembali ke dapur sampai usiaku menginjak 18 tahun. Kejadian itu menjadi trauma besar bagiku. Aku berjalan menuju samping rumah untuk mencari bunga-bunga liar dan buah bunga pukul empat untuk aku jadikan bahan masakanku. (bertingkah seolah acuh dan bukan hal yang bagus) Ya tahulah kan maksudku? Main masak-masakan. Bukan benar-benar masak.

Woy, Rena! Jagan ke samping rumah dulu. Ada tukang yang ngedandanin atap rumah

(memasang ekspresi berlebihan) Tahu nggak, sih? Aku bingung saat itu. Dandan? Dandan kan yang pakai bedak pikirku saat itu. Jadi... (tertawa geli) Aku pikir tukang tersebut sedang berdandan. Sontak aku berlari ke samping dan ingin memperingatkan si tukang kalau mama tidak suka jika peralatan riasnya dipakai.

Praannnggg (suara genting jatuh dari atap rumah)

Reeeeennnnnnnaaaaaaa!!! Anak sial! Apa yang kamu lakukan, hah? Masuk! (geram) Masuk! Saya tampar kamu entar... (mengangkat tangan hendak menampar)

Ini anak dari tadi memang rese. Tadi kangkung dipotongnya besar-besar. Tahu sendiri kita lagi krisis.

(menoleh) Halah, kamu saja kali yang nggak bisa ngatur uang. Baru seminggu uang sudah habis.

(menurunkan kadar suaranya) Hei, jangan keras-keras. Nanti kedengaran tetangga. Apa lagi ada tukang. Mikir dong jadi laki. Memang kamu ngasih nafkah apa? Dapat gaji dimakan sendiri.

Heh, suka-suka saya, ya!

Halah (menggeleng) Aku langsung pergi meninggalkan mereka. Dan bersiap berangkat sekolah. Aku sekarang baru tahu bahwa saat itu harga kangkung hanya 500 Rupiah. (menggeleng, tersenyum sumringah) Aku kalah berharga dibandingkan seikat kangkung!! (tertawa)

Rena, dengar mama. Kamu jangan sekali-sekali bercerita kepada orang. Malu. Jaga kehormatan keluarga kita. Mengerti? (serius) Bagus. Sekarang berangkatlah sekolah.

Kawanku, sejauh mata memandang di dekat sekolah banyak sekali mobil dan motor yang saat itu aku tidak mengerti. Aku hanya ingat hari pertama masuk sekolah mama mencubit keras pinggulku karena hendak berlarian ke jalan. (acuh) Padahal aku hanya ingin tahu, kendaraan itu seperti apa.

Sejak saat itu, cubitan mama menjadi sebuah tanda bahwa kendaraan itu berbahaya. Alhasil(tertawa) aku tidak mau sama sekali mengendarinya saat berusia remaja.

(merajut)

Ayah. Sebenarnya aku harus bagaimana agar kau mencintaiku? Mencintaiku sebagai anak yang engkau banggakan. Sudah semua hal yang anak-anak lain tidak raih, aku meraihnya untuk buatmu bangga. Tapi kenapa engkau diam membeku? Diam membeku seperti es? Apa yang sebenarnya engkau harapkan dariku? Aku tidak memintamu untuk berhenti bersikap kejam pada kami. Aku hanya meminta senyummu, sekali saja, kepadaku. Dan berkata, “Kamu telah melakukan yang terbaik”. Tapi ayah keburu mati. Pergi meninggalkan kami. Ayah berhutang satu maaf padaku.

(tertawa ironi) Aku sangat jahat waktu itu. Terbawa emosi. Hingga kemudian saat di pemakaman hari itu, aku bertemu dengan beberapa kawan papa. Pandanganku berubah.

Hai, iya. Saya Bu Ros. Bosnya Pak Ferry. Iya. Ini siapa? (memincingkan mata) Anaknya? (membelalakan mata) Oh, anaknya! Anaknya yang selalu ranking satu itu, kan? Anaknya yang selalu masuk ke media massa itu kan sebagai murid teladan dari sekolah? Ya ampun... Cantik pula.

Aku terenyuh saat itu. Ternyata ayahku sangat bangga dengan segala prestasiku. (murung) Tapi sikapnya sangat dingin kepadaku. Aku sendiri?(senyum)  Ya. Aku pun sama dengannya .

Kehidupan percintaanku tidak berjalan mulus. Kalau bertanya berapa kali... (mengangkat tangan mengacungkan satu jari telunjuk ke atass) satu kali, mungkin. (mengangkat bahu) Aku juga bingung. itu cinta apa bukan. Hubungan macam apa. Atau (terlihat mengingat-ingat) siapa sebenarnya laki-laki itu dan wajahnya seperti apa.

Aku hanya tahu laki-laki itu berkulit putih dan sangat perlente. Maklum, anak orang kaya. Mungkin bahkan sepatu yang dia pakai sama dengan uang sakuku selama satu bulan. Aku bahkan lupa di mana dan kapan kami bertemu. Aku merasa waktu salah memilih tempat dan akibat. Orang macam dia hanya cocok dengan orang yang sederajat dengannya. Aku? Halah... omong kosong. Begitu juga dengan cinta yang dia tawarkan.

Hei, aku membelikanmu ini. Ya, ini kalung emas. Apa? Kau tidak mau memakainya? Kenapa? (mengangguk) Oh, alergi. Sayang, padahal aku mau pamer padamu. (diam sejenak) Kenapa wajahmu manyun begitu. Aku pikir ada apa. Apa? Keluargaku? Sangat kaya. Mobil kami ada lima. (memainkan sesuatu, situasi canggung) Apa? (mendekatkan telinga ke lawan bicara) soal prinsip. (mengangkat bahu) Tidak ada yang spesial. Ikut arus saja seperti air.

Beberapa minggu kemudian aku memutuskannya. Mana adanya di hidupku yang keras ini aku bersanding dengan orang yang... (tampang jijik) suka pamer dan tidak berprinsip macam dia. (acuh) Dari segi kehidupan sih terjamin. Bahkan kata seorang kawanku laki-laki begitu adalah aseet. (tertawa) Memang apaan, asset? Dia manusia, bukan barang. (menggeleng) Kasihan. Asset.

Tapi tidak tahu mengapa, saat aku memutuskannya air mataku mengalir. Kata kawanku itu wajar karena kamu telah kehilangan orang yang kamu kasihi. (tertawa geli) Tapi rupanya dia menyesal iba padaku hari itu. Sebab esoknya, aku tertawa riang dan tidak terlalu memikirkannya lagi. Aku sakti, kata kawanku.

Jika kau penasaran dengan laki-laki ini. Buka saja alamat facebook, twitter, dan beragam sosial media miliknya. Cakep. Tapi banyak foto pelukan dan ciumannya. Saran saja, jangan dibuka kalau nggak kepingin jadi... (membuat tanda kutip dengan 4 jari) gundiknya.




Apa? Dia kenapa? Oh, dia ditinggal pacarnya? Ya sudah. Lupakan saja. Susah amat.

Rena, bersimpati sedikitlah. Dia kan kawan kita.

Ya. Hanya kalian yang punya masalah. Hanya kalian yang boleh berpendapat. Ya. Rena memang hidupnya sempurna. Wajahnya tidak ada masalah.

Ya. Namaku Rena. Dan Rena tidak mau mengerti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA