Dalam Angkot Hari Ini

"Lo mah tolol jadi orang. Jangan buat kawan lo jabanin, sama orang rumah lo lupa. Buat apa sih kita kerja? Buat orang rumah juga, 'kan? Lo siap ngasih kopi sama rokok buat kawan lo. Tapi lo lupa sama orang rumah. Pas pulang ke rumah, ribut. Kalo lo terus-terusan ngasih kawan, sama aja lo kerja buat ngemanjain kawan lo itu! Boleh sih ngejajanin, tapi sekali-sekali aja. Jangan orang rumah lo kasih ikan tapi gak ngasih nasi. Bisa hidup apa pake ikan doang? Udah dewasalah. Masa kayak gini gua harus ngomongin lo?"

Itu materi obrolan tadi pagi antara beberapa penumpang yang saling kenal. Sebut saja juragan angkot, supir tembak, dan si supir sendiri.

Awalnya, si supir tembak masuk dalam angkot dengan gaya petantang-petenteng. Biasalah. Lalu sambil menghisap rokok lamat-lamat, dia bercerita betapa uang dari hasil ngangkotnya kurang untuk hidup. Yah, namanya juga kawan, tahulah pastinya bagaimana sih kawan sendiri?

Ini salah satu hal yang bisa dibilang anugrah--pembenaran juga sih--naik angkot karena nggak bisa naik motor. Mendengar kisah hidup orang. Wah banget. Menambah pendewasaan lho!

Intermezo sedikit. Aku pernah naik angkot yang ternyata supirnya punya ilmu yang masyaa Allaah. Kalau dia masuk fakultas ekonomi dan bisnis, pendidikan, dan/atau ilmu sosial dan politik pasti hebat.

Bayangkan. Dia fasih menggunakan laptop dan internet, mengerti materi-materi manajemen sampai hubungannya dengan renaissance Eropa. Siapa-siapa pemegang sejarah Indonesia, teori konspirasi, dan banyak macamnya. Hanya lima belas menit di dalam angkot dan aku merasa bahagia diberikan ilmu-ilmu tersebut. Aku sampai tidak sadar sempat tertawa lirih di angkot saking senangnya.

Kembali ke topik. Aku belajar lagi dari para supir angkot hari ini. Ada kenyataan pahit yang kadang kita luput tentang keluarga kita.

Sering kita lupa betapa sesungguhnya keluarga adalah yang paling menerima kita apa adanya. Pernah tidak kita bayangkan ketika kita meninggal? Siapa yang akan menangis pertama? Pastinya keluarga yang benar-benar sedarah. Siapa pewaris kita? Siapa yang selalu mengingat kita meskipun kita tiada? Siapa yang menyuapi, memandikan, dan mengajar kita pertama kali? Siapa kalau bukan keluarga?

Dan ya, sudah banyak cerita di mana kita terlalu bergantung pada kawan. Mengedepankan kawan dibandingkan keluarga. Padahal kawan mudah sekali pergi jika kita tidak punya sesuatu yang diinginkan mereka. Tapi keluarga? Kemungkinannya jauh lebih kecil.

Aku mengerti kok hal ini. Karena aku juga tidak hidup dalam keluarga layaknya raja atau bahkan normal. Bukan keluarga yang akur-akur saja, saling support, dan cukup. Namanya juga fenomena kehidupanlah. Aku punya ujianku sendiri.

Dan hei! Aku teringat pernyataan seseorang dan kalimat-kalimat dalam artikel. Begini kurang lebih bunyinya:

"Jangan kamu tinggalkan keluargamu untuk berdakwah. Tapi ajaklah keluargamu untuk berdakwah bersamamu."

"Jika engkau ingin melihat kehebatan seorang lelaki, jangan kaulihat dari kerjanya di kantor, prestasi kerjanya, kegagahannya, ketampanannya, kesupelannya, dan kepemimpinannya di luar rumah. Kalau kauingin melihat kehebatannya, datang berkunjunglah ke rumahnya. Lihat bagaimana keluarganya memperlakukan laki-laki tersebut. Apakah ia dikasihi, dipatuhi, dan mereka senang kepadanya. Jika ya, maka sungguh ia memang laki-laki hebat. Jika sebaliknya, sungguh ia telah gagal. Karena, bagaimana seorang laki-laki akan hebat memimpin hal besar sementara memimpin keluarganya ia tidak bisa? Dan keluarga, adalah cerminan diri kita."

Oke. Lepaskan konteks, lepaskan kerumitan masalah pribadi, gender, dan status. Terlepas pula apakah yang mengatakan istiqamah atau tidak. Seperti pengajaran al-hadits dan kisah Imam Ahmad bin Hanbal, kita harus mengambil ilmu dari siapa saja.

Lihatlah bagaimana pentingnya keluarga bagi kita. Maka, salah besar bagi orang yang menyisihkan keluarganya di belakang, mendewa-dewakan kawan semata, dan lupa bahwa kelanggengan serta hak-kewajiban keluarga juga akan dipertanggungjawabkan di hari akhir kelak.

Maka, beruntunglah orang-orang yang diberikan kecenderungan dapat menempatkan keluarga sesuai hak dan kewajibannya secara seimbang.

Wallahul musta'an.

Bandar Lampung, 12 September 2013
Keluarga, fight!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA