Ikhwan Dibalik Hijab
Ikhwan
Dibalik Hijab
*Suatu
hari di Desember 2011—NB : Semua di cerita ini sudah di-approve dengan
murobbiku—Nama disamarkan, redaksi dikondisionalkan sesuai dengan isi*
GILA! GILA-GILA-GILA...
Hari ini, aku berada di suatu
tempat yang biasa kujumpai. Mushala fakultas. Ada jaltsah ruhiah untuk BBQ. Dan
jleb. Wew! Jadi MC? Yap, keringat dingin mengalir dibalik baju PDH-ku.
Kebetulan, yang hadir saat itu
menjadi pemateri adalah salah seorang murobbiku. Saat di sini, aku dilarang
menyatakan siapa-siapa murobbiku. Demikian sistem di tempatku saat itu.
Aku merasakan ada keganjilan dengan
murobbiku ini. Setelah berganti murobbi, aku tak lagi mendengar kabarnya. Dan
tiba-tiba, netraku tertambat pada sebuah cincin mungil yang melingkar manis di
jari manis kiri murobbiku yang berperawakan mungil itu. Dan saat menyebutkan
status, tidak seperti biasanya, beliau terdiam sejenak.
“Sekarang maih kuliah. Status.... single.” Aku mengerutkan dahi. Wah, kok
ganjil?
Selesainya, kami diminta berkumpul
oleh murobbiku di sudut mushala. Dan
benar saja. Ada berita mengejutkan.
“Mbak mau menikah...”
“HAAAAAAAAAAAAAHHHHH?????????!!!!!!!!”
ujar kami histeris serentak.
“HUUUUUUSSSSSSSSSSSHHH, mushala!”
ujar murobbi kami sambil meneriakan dalam bentuk bisikan.
Murobbikupun bercerita bagaimana
kisah pertemuannya dengan jodohnya—insya Allah--.
Jadi, ketika sebulan sebelum Idul
Adha’, sang ikhwan menemui murobbinya dan menyatakan kesiapannya untuk menikah.
Beliau mengajukan sebuah proposal. Alasan desakan tersebut mudah. Beliau ingin
memiliki seorang pendamping menemani dirinya berdakwah dan untuk menjaga
kehormatannya. Murobbi si ikhwan kebingungan. Saking kebingungannya, si murobbi
ikhwan menanyakannya dengan halaqah-nya siapa yang memiliki kenalan akhwat
shalih. Dan hasilnya nihil.
Si murobbi ikhwan menanyakan
kembali adakah yang bisa dipinang di lingkungan si ikhwan. Dan si ikhwan
menyatakan bahwa di lingkungan beliau tidak ada yang dapat dipinang. Adapun,
mereka adalah orang yang masih tergolong saudara meskipun jauh. Si ikhwan tidak
mau. Sebab, bukankah suatu sunnah juga untuk meminang orang yang jauh hubungan
kekerabatannya? Untuk emnegakkan sunnah ini, maka si ikhwan meminta murobbinya
mencarikan.
Qadarullah, murobbiku merupakan
salah seorang yang terkadang mengajar di sekolahan adiknya di Kotabumi. Dengan
segera beliau selalu menjemput adik-adiknya di sekolahan. Dan... istri si
murobbi ikhwan (agar mudah ingat, sebut saja istri ustadz) turut menjemput
anaknya di sekolahan ini pula. Dan, deg, dia melihat murobbiku yang merupakan
kenalannya. Setelah berbincang-bincang dan berpisah, si istri ustadz baru
kemudian tergerak hatinya untuk mengajukan murobbiku dengan si ikhwan.
Dan benar saja, proposalpun
berpindah dari si ustadz, ke istri ustadz, dan sampailah kepada murobbinya
murobbiku. Murobbiku bingung. Beliau terkejar deadline untuk lulus tahun ini.
Belum dakwah yang menunggu. Dan yang terakhir, apakah beliau mumpuni? Ketika
keraguan itu menyergapnya, beliau disarankan untuk istikharah.
Tingkat stress akan memengaruhi
keadaan seseorang. Murobbiku yang punya masalah dengan tukak lambungnya,
langsung sakit dan tidak bisa makan. Orang tua beliau cemas. Skripsi-skripsi.
Dakwah-dakwah. Menikah? Ya Allah...
Alhasil, dalam istikharahnya dan
melihat profil si ikhwan, beliau mantap mengajukan diri dan membuat proposal
yang isinya beliau bilang ‘nggak banget’.
Ketika menyampaikan dengan keluarga
beliau yang dari awam menuju paham dengan izin Allah, beliau mendapatkan restu.
Akan tetapi, ibu beliau masih merasa keberatan dengan kepergian anak
perempuannya. Ditambah dengan ‘kompor’ dari adik kembarnya. Untungnya, beliau
dibantu dengan adik laki-lakinya untuk menentramkan hati sang ibu.
“Kenapa Mbak menerima kalo pikiran Mbak begitu sulit?” tanya
salah seorang dari kami. Murobbiku tersenyum. “Karena dia menikah untuk dakwah sih, Dik. Itu jadi nilai plus-nya di mata Mbak. Ditambah, Mbak
dinasihati oleh murobbi bahwa ikhwan sholeh tidak akan datang dua kali. Dan ini
ibadah. Tidak ada itsar (red:
mendahulukan) di dalamnya.”
Setelah persetujuan didapat, hari
lamaranpun datang. Dan tiba-tiba saja tetangga beliau menggempar. Bahkan untuk
acara lamaran yang tadinya mau tertutup saja, tiba-tiba ada tetangga yang
menyiapkan speaker, mic, dan
lain-lain. Tentu saja, murobbiku kaget.
Orang-orang desa beliau menanyakan
tentang bagaimana mungkin murobbiku yang terkenal tidak berpacaran dan menjaga
hijab bisa mendapatkan suami secepat itu. Dan murobbiku mengambil kesempatan
dakwah ini dengan menyatakan bahwa untuk mendapatkan jodoh yang baik, kita juga
harus baik. Salah satu caranya adalah dengan mendekatkan diri pada Allah; tidak
berpacaran.
Ketika hari H datang, si ustadz, si
ikhwan, dan perwakilan keluarga terkaget melihat kumpulan massa di dekat rumah
murobbiku dan juga speaker dan mic
yang lengkap.
Pembicaraan dibuka oleh si ustadz.
Si ustadz menguak sebuah kenyataan unik. Nama murobbiku dan si calon ternyata
sama-sama mengisyaratkan kata ‘cahaya’ dalam bahasa Arab. Sehingga diberikan
semacam sugesti akan ke-barakah-an
keluarga mereka kelak. Pengemban dakwah ke depan.
Murobbiku yang berkaca mata sengaja
melepaskan kaca matanya agar tidak perlu melihat calonnya. Murobbiku hanya bisa
menduga wajahnya sudah tidak keruanan. Maklum saja. Rasa malu beliau terjaga
dengan adanya benteng tidak berpacaran. Sementara si ikhwan, dia memandang
murobbiku lekat sesuai dengan perkataan para tetangga yang menyaksikan kejadian
tersebut. Wajar saja, memandang saat khitbah merupakan sunnah, bukan?
Saat ditanya kesediannya, murobbiku
hanya diam. Sebagaimana dalam hadits, itu artinya iya.
Selesainya, beliau diberitahukan segala
kejadian. Dan beberapa lama, beliau kembali ke Bandarlampung karena suatu
urusan. Dan segera, berita menyebar. Beliau ditahan satu kosan tempat para
akhwat berkumpul. Dan qadarullah, para akhwat mengetahui siapa orang yang
menjadi calon tersebut. Lebih dari murobbiku sendiri.
Idul Adha’ saat itu, keluarga
ikhwan datang dengan membawa cincin tanda pertunangan yang qadarullah kebesaran
di jari murobbiku. Dan dengan lucunya, di depan sang calon mertua wanita,
murobbiku sumpal dengan kertas yang sontak membuat semua yang ada di ruangan
tergelak.
Seusai dengan kejadian itu, karena
terburu-buru, si ikhwan dan keluarga tidak sempat mengucapkan salam perpisahan
dengan keluarga murobbi. Sang ibu murobbiku mengatakan seusai kepergian mereka,
“Calon menantu kok ndak sopan.”
Dengan lembut, murobbiku menjawab, “Ibu, bagaimanapun, mereka belum menjadi
muhrim ibu. Jika ibu bersentuhan dengannya berdosa. Jika nanti sudah
benar-benar jadi, ibu boleh berkata demikian. Lagipula, tadi mereka
terburu-buru karena sudah mau hujan.” Lembut, namun tegas. Dan sang ibu
menerima dengan setengah enggan.
Pernikahanpun terjadi dengan
sakral.
Beberapa waktu lamanya hingga kami
bertemu dengan murobbi kami kembali. Dan...
Ternyata, hidup itu lucu. Kehidupan
murobbiku dan suaminya biasa saja. Bahkan untuk ukuran manusia, kekurangan jika
menggunakan takaran materi.
Memasak adalah tugas suami. Dan
mencuci baju tugas istri. Itu salah satu hal yang membuat kami tertawa. “Mbak
udah bilang waktu di-khitbah geh.
Mbak gak bisa masak.” Kami tertawa
mendengar bagaimana dia salah menggunakan mana yang tepung terigu dan mana
tepung aci. Disindir lagi di hadapan mertua.
“Mumpung jadi akhwat belajar masak,
Dik. Belajar masak.” Kamipun tertawa dibuatnya.
Pendiam? Itu kata proposal suami
murobbiku. Nyatanya? Ternyata ikhwan tersebut jauh lebih lucu ketimbang
murobbiku sendiri yang notabenenya sering membuatku sakit perut. Bayangkan,
Liwa-Kotabumi yang katanya bisa enam jam, murobbiku tidak berhenti dibuat
tertawa suaminya. Ckckckckck...
Gara-gara sering dibuat tertawa,
refleks alami dari murobbiku keluar. Suka memukul menggunakan kertas koran.
Sehingga ada cerita ketika mereka tidak sengaja melihat berita kriminal, ada
masalah KDRT. Dan si ikhwan dengan lucunya di samping murobbiku mengacungkan tangan
dengan meringgis yang dibuat-buat, “Saya juga di-dzalimi. Tolooong...” Dan gelak tawa berkumandang.
Murobbiku adalah tipikal yang suka
menggunakan ‘gue-gue, lo-lo’ kalau
bicara. Dan sontak suaminya kaget. Dan lucunya, suaminya yang justru mengikuti
cara istrinya. “Ya, siapa suruh ikutan. Kaget kali dia, ya?” Jelas murobbiku
santai.
Sementara, adapula kebiasaan di
ikhwan yang jadi kebiasaan murobbiku saat ini. Si ikhwan suka memaksa murobbiku
untuk belajar Bahasa Arab. Dan murobbiku suka menolak sampai dipaksa-paksa.
Sampai akhirnya, ketika ada tes, murobbiku tidak bisa mengerjakan dan gurunya
mengatakan, “Makanya, kalo diperintah
suami, ya, mbok nurut.” Murobbiku
menunduk malu. Sehingga dia mulai mengikuti si ikhwan belajar.
Ketika hendak masuk ke kampus,
sepasang kekasih ini duduk bersampingan dan bercanda ria dalam angkutan umum.
Hal itu menjadi pemandangan di tempat tersebut. Dan murobbiku merasakan
gangguan akan dakwah. Qadarullah, si ibu-ibu yang satu ruang ini bertanya,
“Dik, pacarnya, ya?” Murobbiku tersenyum. “Bukan, Bu. Ini suami saya.” Dan sang
ibu hanya berdecak kagum sambil berkata, “Ckckcckkk.. Muda banget, ya?”
Kejadian berikutnya adalah ketika
si ikhwan mendatangi suatu diklat. Banyak ibu-ibu yang tertarik dengan
perawakan beliau dan ‘menawarkan’ anaknya. Dan semua ditolak dengan halus.
“Saya sudah menikah, Ibu,” halus si ikhwan. Dan semua ibu itu menyayangkan.
Si ikhwan lapor pada murobbiku,
Dik, tadi gue mau
dikenalin sama anak gadis ibu-ibu peserta diklat.
Apa jawabanmu, Mas?
Ya ditolaklah. Bilang
udah nikah.
Kok gak diladenin?
Lho? Boleh, ya? :D
Boleh. Tapi liat aja...
:D
Di samping itu, mereka punya
panggilan—yang agak riskan dibilang panggilan sayang—tersendiri, yaitu: Tukang
Ojek dan Juragan. Contoh: “Dianter
siapa ke sini, ***” Murobbiku menjawab, “Tukang Ojek.” Atau, “Umi, aku gak bisa pulang. Tukang Ojek belum
jemput.” Sebaliknya, “Ntar, ya. Saya mau jemput Juragan dulu. Nanti marah.” Ini
si ikhwan ke murobbiku. Wah, wah. Saya sampai menggelengkan kepala dengan dua
insan ini. Kok kocak?
Suatu ketika, murobbiku menanyakan
sesuatu. “Mas, pernah pacaran?” Ternyata suami murobbiku pernah berpacaran
sekali. Udzurnya adalah ilmu belum sampai padanya. Dan ketika diketahui,
ternyata wanita tersebut putih, cantik, baik, dan kaya. Manalagi, ternyata
ketika belum berilmu, suami murobbiku telah meletakkan foto si gadis di
Alqurannya. Sontak saja, murobbiku ngambek.
“Pantes aja di proposalnya dibilang
dia nyari akhwat putih dan kalau bisa
dokter. Ternyata... ya, gak bisa
dipungkiri, dik. Mbak cemburu. Jadi, pas di depan sih, biasa. Setelah di masjid **, Mbak nangis dan ngambek. Mbak
merasa dibandingkan walaupun itu akibat ketidaktahuan.”
Semoga barakah, Mbak,
pernikahannya. Apalagi sekarang, beliau sedang hamil. Semoga anaknya shaleh/ah.
Hikmahnya tentu sangat banyak. Aku
akan sebutkan beberapa:
·
Jodoh tidak ke mana dan bisa siapa
saja.
·
Perbaiki dirimu jika ingin jodoh
yang baik. Kalau kata seorang akhwat, “Semuanya memang sudah ditakdirkan. Tapi,
untuk satu yang bisa kita usahakan adalah masalah pasangan hidup. Karena Allah
telah mengatakan bahwa kita akan mendapat yang se-kufu’. Maka, perbaiki diri kita dahulu.”
·
Sebelum pernikahan, hati haram
untuk diberikan. Ini juga diajarkan oleh seorang ummahat padaku, “Ketika hendak
menikah, ibu istikharah. Ibu sangat tidak ingin ada perasaan yang berlebihan
dan juga keraguan. Ibu inginkan hati ibu tetap di tengah-tengah. Ridha jika
tidak jadi dan juga tidak bingung untuk melaksanakan. Jika itu terjadi,
meskipun H-1, ibu siap meninggalkan pernikahan waktu itu. Malu tidak akan
seberapa dibandingkan rasa ragu yang menganggu iman.
·
Banyak orang yang belum jadi
istri/suami, baru komitmen, baru TTM, HTS, dan sebagai macamnya yang sudah
mengenal-ngenalkan saudara dan keluarganya. Padahal, jadi muhrimpun belum.
Masih banyak kemungkinan. Bisa saja jika si laki-laki atau si perempuan justru
jadi dengan adik, kakak, sepupu, dan keluarga kita lainnya. atau bisa jadi
ketika keluarga sudah nyaman dengan orang tersebut, namun ternyata qadarullah
dia bukan jodoh maka akan terjadi kesulitan dalam melepaskan hubungan.
·
Kecemburuan muslim itu tinggi.
·
Orientasi muslim menikah itu karena
Allah, demi dakwah.
·
Bukan karena banyak kesamaan, atau
banyak perbedaan, maka dua insan bisa bersatu. Akan tetapi, karena Allah
menjadikan semuanya jadi lengkap dan cocok secara ajaib dan tiba-tiba. Jangan
takut.
Bandar Lampung, 7-5-2013
Pukul 01.00 WIB
Ehm.. Ehm... Ngomporin... :-)
Komentar
Posting Komentar