Cuplikan



Cuplikan

Selamat dini hari waktu Indonesia, teman-teman!

Aku sedang menikmati segelas kopi bermerek Good Day Carebbian Nut ditemani dengan dendang ayat-ayat Alquran dari Surat Al-Jumu’ah. Sebuah surat yang dibacakan oleh seseorang ustadz yang juga adalah seseorang yang aku kenal dari masa SMA. Dan... salah satu orang yang aku tidak sukai.

Sebelum tulisan ini aku publikasikan, bagi beberapa orang mungkin melihat tulisan tanpa judulku yang berisikan, “ketika semua perasaan berbalik”. Sungguh, aku juga terkaget dengan semuanya. Asal engkau tahu saja, banyak orang yang dahulu aku begitu sukai. Namun, kini menjadi musuhku atau minimal tidak aku sukai. Demikian pula sebaliknya. Ada orang-orang yang tadinya tidak aku sukai bahkan benci, berubah menjadi begitu aku sukai bahkan cintai.

Tentu, kita sudah hafal dengan kata-kata hadits yang diriwayatkan dari istri Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, yaitu Hafshah bahwa baginda gemar membaca Yaa Muqallibal quluub, tsabbit qalbik ‘alaa diinik.

Hati manusia... ya, masih sebuah misteri. Sebentar dapat berubah. Lebih cepat dari cuaca. Bahkan lebih cepat dari hembusan nafas. Sehingga aku bisa berkesimpulan bahwa sangat naif dan tak berdasar bagi seseorang yang melarang atau tidak menyukai orang yang memiliki kecepatan perubahan hati seseorang. Hati ini bukan manusia atau si individu itu sendiri yang memegang. Melainkan Dia, Yang Maha Kuasa, Maha Pembolak-Balik Hati. Jadi, jangan sekali-kali manusia bersikap pongah tantang siapa yang harus bagaimana. Cukup didoakan.

Teman, tugasku sedang sadis-sadinya. Tapi beberapa waktu ini, aku tidak memiliki kekuatan rasanya untuk mengerjakannya dengan baik. Ditambah dengan qadarullah di mana aku mulai berjualan dengan teman-teman. Lagi-lagi, aku merasa sangat tertinggal jauh. Mengapa? Aku mengikuti ajaran Islam ini sudah dalam keadaan yang cukup jauh. Serius di usia 20 tahun. Cukup mantap di usia 20 tahun. Baru setahun lalu. Sementara jarak dari berhijab hingga menjelang waktu itu, aku masih mencari-cari bentuk Islam itu dan bagaimana hatiku. Akupun kembali pada masalah hati, dibuat bingung pontang-panting. Bukan hanya orang lain yang dibuat kewalahan dengan hatiku. Akupun sendiri mengalaminya. Maaf, ya.

Bagaimana aku menyusul mereka yang memang terlahir dalam keadaan iman yang sudah baik? Keluarga yang sudah terjaga? Dengan hafalan yang jauh lebih banyak? Dengan kemampuan dan nikmat yang terbuka lebih lebar? Setiap mengingat itu, aku menangis. Rasa putus asa dan pesimis. Tapi, itu dilarang, bukan? Maka, aku belajar untuk tidak banyak sedih dan lebih banyak berdoa dan berusaha. Allah...

Aku bersyukur setidaknya, hari ini, rasa iri keduniawianku sedang menyusut. Sedikit melegakan. Dan kemarin aku menemukan lagi hadits yang menyanjung penyakit demam. Aku teringat doaku pada Allah ketika mengetahui hadits ini, “Ya Allah, aku ingin demam setiap hari jika memang demam akan menggugurkan dosaku yang lebih banyak dari buih lautan itu.” Alhasil, aku diberi-Nya demam itu. Tapi dengan kadar yang pernah tinggi sekali. Dan lagi-lagi aku berdoa dengan redaksi yang sama. Akan tetapi, dengan tambahan, “... hingga batas kesanggupanku.” Dan alhamdulillah, demamku tidak terlampau tinggi. Ada banyak orang yang sering menanyakan mengapa tubuhku hangat bahkan panas. Aku hanya tersenyum. Dan jika dikaitkan, aku menginginkan rasa iri dan cemburu yang sedahsyat-dahsyatnya untuk suara Alquran, hafalan, amalan, dan ilmu mereka yang lebih itnggi itu. Itu jauh lebih baik dan bermanfaat dibandingkan aku harus iri dan cemburu dengan... ya, tahulah. Belum tentu juga itu benar-benar nikmat. Bisa jadi itu istidraj, bukan?

Aku sedih sekali saat kemarin murobbiku memintaku untuk mencari dan mengajak orang-orang lain untuk masuk ke dalam dakwah. Aku menangis di hadapannya dan teman-teman. Malu-maluin! Tapi, apa mau dikata. Aku sedih sekali jika mengingat kesibukan duniawi dan juga kelemahanku untuk mendekati orang lain. Momok besar! Subhanallah. Kepada Allah saja kekuatan ini kuminta.

Aku sedang terpikir kata-kata beliau pula bahwa sebagai seorang yang mengaku sebagai hamba Allah yang menginginkan berjumpa dengan-Nya, tidak sepantasnya hanya memperbaiki hijab saja. Aku kepikiran dengan hal itu setiap harinya. Sejujurnya, berhijab lebar bukan sesuatu yang tanpa beban bagiku. Dan bukan pula sesuatu tanpa pertaruhan. Namun, untuk saat ini, inilah kadar kemampuanku. Aku baru bisa mengumpulkan uang sedikit-sedikit untuk memperbaiki hijab di mana tidak didukung oleh orang-orang terdekat. Lalu, dengannya aku sedikit kesulitan dengan masalah pekerjaan dan pergaulan. Itu yang bisa kuhadapi untuk sekarang. Sementara yang lain, sedang kuusahakan.

Kadang terlintas, “Could I take a rest?” Tetap saja jawabannya, TIDAK. Tidak ada.

Bandarlampung, 7-5-2013
Pukul 00.00 WIB
Keep smiling... Laa tahzan... Innallaaha ma’anaa... (Q.S. At-Taubah : 40) :-)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Naskah Teater - wu wei, dan siapa nama aslimu

STUDI KELAYAKAN BISNIS MENGANALISIS KEEFISIENAN MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA DARI PT. YAKULT INDONESIA PERSADA