Sutradara Amatir
Kisah ini seperti kisah Cinderella,
lebih kurang. Cinderellah selalu disuruh-suruh oleh ketiga saudara dan ibu
tirinya. Suruhan itu berupa pekerjaan rumah; seperti mengepel, menyapu,
membersihkan taman, mencuci, menyetrika, dan lain-lain.
Kisah Cinderella ini berulang pada
sutradara-sutradara di Indonesia. Sutradara dalam tataran fungsinya,
sesungguhnya hanya fokus pada masalah pementasan dia atas panggung. Sementara
hal-hal yang bersifat teknis dan juga administratif selayaknya dikerjakan oleh
kru yang lainnya. Namun dalam kenyataannya, sutradara Indonesia mengalami
kesulitan akut. Kesulitan akut ini ditandai dengan tiga hal yang akan dibahas
di dalam tulisan ini.
Pertama,
adanya pekerjaan yang mayoritas diberikan kepada sutradara. Sebut saja
pekerjaan memilih lakon yang diperankan, memilih para aktor, melatih, mencari
dana, memilih kostum, tata rias, dan bermacam-macam fungsi lainnya. hal ini
sungguh ironis di mana sutradara bagaikan superman di tengah siang bolong.
Dalam manajemen pementasan, hal ini
tentunya menjadi sebuah kesulitan tersendiri yang pada akhirnya, bisa
mempengaruhi keseluruhan daripada lakon yang akan dipentaskan. Lakon yang akan
dipentaskan berkaitan erat dengan sutradara yang memegang keyword dalam pemilihan
lakon yang dimainkan. Sutradara yang kehabisan waktunya dalam memikirkan
terlalu banyak hal jadi tidak fokus. Konsentrasi yang terpecah ini menimbulkan
lebih kurangnya emosi yang tidak stabil di dalam grup yang hendak pentas itu
sendiri.
Itu baru hal internal saja. Belum
masalah eksternal dari psikologi sutradara. Hal terpenting setelah sutradara
itu sendiri, sudah jelas adalah para aktor yang memainkan peran-peran dalam
lakon. Kebanyakan dalam aktor-aktor luar negeri sudah terbiasa melatih diri
secara pribadi, alih-alih memang berbakat. Sementara di Indonesia, sangat sulit
menemukan aktor-aktor yang memang memiliki disiplin diri untuk menjaga
alat-alat keseniannya; mulai dari gesture (kelenturan), mimik, dan vokal. Inilah
masalah kedua. Teater di Indonesia
adalah teater yang bersifat sukarela alias siapa pun boleh masuk. Sehingga
sulit sekali mendapatkan jaminan dari kepahaman apalagi dari kualitas. Kekurangan-kekurangan
ini mau tidak mau membuat sutradara harus kembali melatih aktor-aktor tersebut
secara mandiri dan masuk dalam agenda persiapan pentas. Ketika berbicara
mengenai kedisiplinan para aktor, bagi aktor-aktor baru latihan terasa sangat
menjemukan. Jemunya para aktor dalam latihan berdampak pada kelangsungan
pementasan secara keseluruhan. Menerapkan disiplin dalam latihan memerlukan
kerja keras yang tidak bisa bersumber dari sang sutradara itu sendiri.
Ketiga,
jumlah aktor yang dibutuhkan sering tidak sesuai dengan kebutuhan naskah.
Sehingga terkadang mau atau tidak, sutradara harus memilih. Pilihannya ada dua,
yaitu mengurangi jumlah peran yang akan ditampilkan dalam pementasan, atau
membuat pemainnya double casting
(memerankan dua tokoh). Kedua hal ini sama beratnya. Untuk yang satu, mengurangi jumlah peran, sutradara
diwajibkan untuk jeli. Kejelian ini dilandaskan pada komposisi
naskah/lakon yang dimainkan otomatis
akan berkurang. Agar komposisi tidak timpang, diperlukan pemikiran matang.
Karakter yang ditampilkan di dalam naskah/lakon terdapat pula tokoh kunci yang
apabila dihapuskan akan membawa dampak luar biasa. Bisa jadi naskah menjadi
kering. Dua, ketika pemain memerankan
dua tokoh. Berbeda pada solusi satu, solusi dua akan memberatkan para aktor.
Karena beratnya hal ini, para aktor harus menguasi benar-benar tokoh-tokoh yang
diperankan. Apabila ini gagal, akan terasa benar persamaan-persamaan dalam
karakter yang satu dengan karakter yang lain. Persamaan karakter ini lambat
laun akan menganggu terutama konsentarasi. Akibatnya dapat terjadi banyak
kebocoran. Selain itu juga, sama dengan awal, pementasan menjadi kering.
Terinspirasi dari buku “ Teater Asyik
Asyik Teater” karya Teater Satu.
Minggu, 16-12-2012
Komentar
Posting Komentar