Remah Terakhir
Siang itu, aku yang sedang mengalami
masa yang tidak baik termenung sendiri. Aku terdiam di sebuah fakultas yang
bersebelahan dengan fakultasku. Entah mengapa aku di sana saat itu. Aku hanya
tahu, hatiku terpikat jauh di dalamnya.
Aku memipili sejenak jamur crispy yang dijual di bazar yang tadi
aku kunjungi bersama kawanku yang sedang shalat di mushala. Rasanya enak
walaupun sudah pasti perasa tambahan yang diberikan membuat kerongkongan dan
sisi lidahku perih seperti biasa.
“Sendirian saja, Mbak?” Suara itu
terdengar begitu familiar di telingaku hingga aku pun menoleh pada
sumber suara
itu tanpa ragu. Dia adik tingkatku. Tak kusangka kami jumpa di sini. Setelah
sekian lama aku tidak melihatnya karena kesibukanku kuliah dan dia les hampir
setiap hari. Ya, saat itu, awal semester 3 di mana aku masih sering mengunjungi
SMA tempatku menimba ilmu.
“Hei!” seruku begitu gembira dengan
kehadirannya. Dan ah, ada rasa yang menyusup di hatiku, lagi. Rasa kerinduan
dalam terhadap masa lalu.
“Kamu sudah kuliah sekarang? Bukannya
masih kelas 3?” Sebuah pertanyaan yang sudah aku ketahui bodoh namun tetap saja
lagi-lagi aku lontarkan. Jelas saja adik tingkatku spontan manyun di tempat.
Kami berbincang-bincang. Lagi-lagi
masalah itu. Masalah organisasi satu itu. Organisasi yang begitu berkesan,
namun aku tinggalkan. Hatiku tertelisik
dalam. Semua unek-unek aku keluarkan.
Aku takkan bohong rasa sakit ketika
dijadikan keset, dijadikan boneka, dijadikan ban serep oleh mereka yang bermain di belakangku. Terkesan kasar memang
kata-kataku ini. Namun sejujurnya, ini belum merepresentasikan betapa sakit
perasaanku sesungguhnya. Terkhusus kala itu terjadi. Semester 3 lalu.
Masalah tetap masalah. Namun orang-orang
yang mendeklarasikan dirinya dewasa itu masih saja berkata, “Kami tidak ada
masalah.” Sementara aku terus-menerus dijejali permasalahan mereka yang tidak
kunjung usai. Aku bosan. Sungguh bosan dengan orang-orang begini. Kebanyakan
mereka mengatakan padaku, “Prima, kamu belum dewasa.” Tapi nyatanya?
Ah, cukuplah. Rasa sakit ini kembali
lagi. Aku bahkan dari yang begitu menyayangi organisasi tersebut menjadi
apatis. Adik tingkatku teramat kaget dengan sikapku ini. Karena adik tingkatku
tahu, betapa aku mencintai organisasi ini. Tempat itu sudah menjadi rumah kedua
bagiku.
Menjadi apatis seperti ini, jangan kausangka
menyenangkan. Ini menyiksaku. Namun, apa boleh buat. Apa mau dikata? Jika aku
terus di sana, jika aku terus mencoba menyelesaikan masalah yang sungguh, aku
tidak berkutat di dalamnya, aku bukan inti masalahnya, buat apa? Menambah sakit
hatiku saja.
Ini remah-remah terakhir yang sungguh
bagian lembut dari diriku. Ini sudah terlalu dekat dengan hatiku hingga rasanya
sakit membahasnya. Cukuplah aku apatis sekarang. Yang pasti, aku tidak mau
mengatakan pengecut kepada siapa pun yang pergi dari masalah ini. Namun, aku
ingin mengatakan pengecut pada mereka yang bersembunyi dibalik
pengambinghitaman pengecut pada orang lain itu.
Mereka yang bilang, “Jagalah masa lalu”,
“Tidak ada cinta dalam organisasi”, “Perubahan itu perlu”, “Kita have fun saja di sini”, dan lain-lain.
Bertentangan dengan perbuatan mereka satu sama lain.
Kalian. Ya, kalian. Kalianlah yang
bertanggung jawab atas semua ini. Bukan hanya 3, atau 2 dari kalian. Tapi
kalian berlima. Yang membuat salah satu tempat yang aku cintai menjadi sumber
noda.
Ini remah terakhir. Pertahanan
terakhirku untuk menjaga semua kenangan di sana tidak mati. Remah terakhir yang
kujaga agar tidak hilang ditelan rasa benci... pada kalian.
Minggu, 16-12-2012
Di bawah temaraam lampu tidurku. Di atas
kenangan tentang rumah kedua...
Komentar
Posting Komentar